PEREMPUAN JAWA DALAM NOVEL” HATI SUHITA”

Perempuan, adalah makhluk Tuhan yang selalu menarik untuk diperbincangkan karena seolah terdapat paradoks dalam dirinya, sehingga ada saja sisi yang perlu diselami. Perempuan kadang digambarkan sebagai sosok yang lemah, peran serta kedudukannya ada di bawah dominasi kaum laki-laki. Terkadang mereka juga digambarkan sebagai sosok yang kuat, raga dan batinnya. Bagi bangsa Indonesia yang memiliki budaya yang beragam, tentu saja memiliki cara pandang yang beragam pula terhadap perempuan. Bagi masyarakat Minang yang menganut sistem matrilineal, perempuan memiliki kekuatan dan kekuasaan sentral. Sementara bagi sebagian masyarakat Jawa, yang menganut sistem patriarki, perempuan hanya dianggap sebagai konco wingking, perempuan bernilai hanya dari tubuh dan seksualitasnya saja. Tentu saja pandangan sebagian masyarakat Jawa tersebut tidak sepenuhnya benar. Jika kita runut catatan sejarah, sejak masa kerajaan di Jawa, perempuan memiliki kekuatan untuk menjadi pemimpin. Misalnya saja, Tribhuwana Tunggadewi sebagai raja Majapahit yang terkenal sebagai perempuan yang adil dan bijaksana.

Nah, dalam tulisan saya kali ini, saya ingin menyelami perempuan Jawa dalam Novel Hati Suhita. Lebih jauh saya ingin menapaki dimensi batin dan pandangan hidup Alina Suhita, tokoh sentral dalam novel ini. Hati Suhita adalah sebuah novel karya Ning Khilma Anis yang bergenre romantik. Tidak hanya romantisme ceritanya yang kemudian memikat pembaca, tetapi novel ini sarat dengan nilai-nilai filosofi Jawa yang banyak mengandung pelajaran hidup penuh makna. Kecintaan Khilma Anis terhadap dunia wayang, keris, serat babad, dan cerita kolosal membuat karakter tulisannya sangat kuat dan khas. Penulis mengurai secara apik ajaran leluhur yang tersimpan rapi dalam serat-serat, kakawin, tembang, dan juga kisah-kisah lakon pewayangan yang disarikan dari kitab Mahabarata. Bisa dikatakan juga   bahwa novel Hati Suhita adalah novel pesantren yang tidak berisi satupun dalil, dan seluruh hikmah disampaikan melalui ajaran Jawa. Novel ini digarap dengan riset yang serius. Penulis novel melakukan wawancara yang mendalam dengan Nyai-Nyai di beberapa pesantren, dan tentu saja studi literatur yang juga cukup komprehensif.

Haru Biru Cinta Segitiga

               Novel ini mengisahkan cerita cinta dan pergolakan batin antara ketiga tokoh utama yakni  Alina Suhita ,Gus  Birru, dan Rengganis. Tokoh Suhita di gambarkan sebagai wanita yang anggun, lembut,  cerdas, taat, kuat, santun, dan putri seorang Kyai. Tokoh Gus Albirruni digambarkan sebagai lelaki tampan, aktivis, putra seorang Kyai besar. Tokoh selanjutnya adalah Ratna Rengganis. Rengganis digambarkan sebagai sosok wanita yang cantik, cerdas, dan luwes, seorang aktivis dan tidak ada latar belakang pesantren.

Kisah yang benar-benar mengadukaduk perasaan berawal dari perjodohan  Suhita dengan Gus Birru. Orang tua Gus Birru menjodohkan Gus Birru dengan Suhita karena menurut mereka Suhita adalah sosok yang tepat mendampingi Gus Biru untuk mengurus pesantren Al-Munawar yang memiliki ribuan santri. Tentu saja berat bagi Gus Birru untuk menerima perjodohan ini, selain passionnya memang bukan mengelola pesantren, dia juga tidak mencintai Suhita. Dia mencintai Ratna Rengganis yang sesama aktivis dan bergelut dalam dunia yang sama.

Lalu bagaimana dengan Suhita? Ternyata sikapnya terhadap perjodohan itu berbeda, tidak seperti Gus Birru yang memang tidak memiliki perasaan apapun ke Suhita, karena hati Gus Birru masih tertambat pada sosok Rengganis. Suhita bisa menerima perjodohan itu dan bisa mencintai Gus Biru. Pergolakan dan perang batin Suhita mulai muncul karena semenjak menikah dengan Gus Birru dan hampir berjalan selama tujuh bulan ia diabaikan oleh suami sahnya itu. Sementara Gus Birru masih terus berhubungan dengan Rengganis. Tentu saja Suhita didera cemburu dan perasaannya semakin ambyar. Hal ini Nampak Ketika Suhita memberanikan diri membuka pesan whatssap suaminya untuk Rengganis “Selamat tidur, Cah Ayu. Malam ini Mas kirim Puisi” atau ketika dia membuak buku Sejarah Filsafat Barat milik Gus Birru yang disitu tersimpan puisi untuk Rengganis “Ratna, namamu menelusup wangi kusuma. Aku yang mabuk dan tersungkur. Pingsan oleh harum. Mencoba berdiri menguntit matahari” (Anis, 2019: 83).

               Akhir cerita novel ini menceritakan bahwa kisah cinta Alina Suhita dan Gus Birru berhasil disatukan dan berakhir bahagia karena keteguhan Suhita, doa kedua orang tua mereka dan juga berkat kisah yang diceritakan Mbah Kung tentang kesetiaan Dewi Sawitri terhadap suaminya, hingga suaminya dihidupkan kembali oleh Dewa karena doa dan usaha yang luar biasa dari Dewi Sawitri. Cerita itu membuat Alina Suhita sadar bahwa keinginan untuk meninggalkan Gus Birru  adalah langkah yang keliru dan segala kesedihan yang dihadapi selama tujuh bulan pernikahannya adalah suatu bentuk ujian terhadap kesetiaan cintanya kepada Gus Birru. Pada akhirnya Suhita mampu mewujudkan mimpi pernikahannya yang tidak hanya sakinah, mawaddah, warrahmah, tetapi juga maslahah tergambarkan dalam bab terakhir, Kasmaran ( Anis, 2019: 388) : “ Aku sangat bahagia. Mushaf di tanganku. Mas Birru di pangkuanku. Al Anwar di pikiranku. Abah Umik di hatiku. Dan benih Mas Birru, baru saja di rahimku”.

               Dalam novel ini tidak ada tokoh antagonis. Penulis mencoba menghadirkan cerita dari beberapa sudut pandang tokohnya, tidak hanya dari sisi Suhita saja, tetapi dari sisi Gus Birru dan Rengganis. Dari sudut pandang Gus Birru kita bisa memahami alasan kenapa kemudian dia tidak bisa menyentuh Suhita. Padahal Suhita berusaha untuk memikatnya, misalnya dia selalu berdandan cantik, selalu wangi Ketika Gus Birru berada di rumah, dan Suhita selalu berkata lemah lembut terhadapnya. Ternyata sikap Gus Birru tersebut dikarenakan dia sangat menghormati Suhita. Tidak mungkin Gus Birru menyentuh Suhita dalam kondisi dia masih sangat mencintai Rengganis. Gus Birru mempunyai prinsip bahwa menyentuh seorang perempuan harus dengan rasa ikhlas, penuh cinta, dan kesadaran penuh bukan keterpaksaan (Anis, 2019:135).

Pada bab Kecamuk Bayangan kita bisa melihat kegalauan Gus Birru dan gejolak batinnya (Anis, 2019: 138) :

“Rengganis adalah kekasihku. Setiap kali aku mencoba melunak pada istriku, aku ingat Rengganis yang terluka karena kutinggalkan. Senyum Rengganis terus mengejarku. Ia sederhana dan teramat manis. Namun, senyum itu memudar setiap kali kudengar suara istriku mengaji. Inilah satu-satunya hal yang tidak mampu digantikan oleh Rengganis”.

Di episode terakhir Gus Birru mulai sadar bahwa pengorbanan Suhita begitu besar untuk mengurus Pesantren, mengurus Ummi yang sudah seperti Ibu sendiri bagi Suhita, dan untuk dirinya. Pelan-pelan Gus Birru mulai mencintai Suhita dan melupakan Rengganis.

               Dari sudut pandang Rengganis digambarkan bahwa Rengganis bukan sebagai sosok perempuan yang jahat, Rengganis bukan pelakor karena dia sudah dulu bertahta di hati Gus Birru sebelum kehadiran Suhita. Jika Suhita digambarkan sebagai seorang Brahmin yang selalu merapal mantra supaya bisa memiliki Gus Birru seutuhnya, maka Rengganis digambarkan sebagai seorang ksatria karena bisa menenerima kekalahan dengan legawa. Meskipun dia tersakiti luar biasa karena ditinggal menikah ketika cintanya masih begitu besar terhadap Gus Birru, namun dia menghormati pernikahan Gus Birru dengan Suhita. Rengganis mulai menjauh dari Gus Birru, dan dia memilih untuk melanjutkan kuliah ke Belanda (Anis, 2019:254-255).

Filosofi Hidup Alina Suhita

 Gambaraan Manusia Jawa, seperti yang diungkap oleh Magnis Suseno (1997:158) adalah manusia yang selalu mencari legitimasi moral dan etis perilaku, sikap, pendapat, persepsi, pandangannya di dalam wayang. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya pengenalan diri selalu dilakukan dengan mengacu pada tokoh wayang. Demikian juga yang digambarkan dalam sosok Suhita. Walaupun Suhita hidup dalam lingkungan pesantren, dimensi batinnya diwarnai nilai-nilai kearifan yang dia peroleh dari cerita wayang yang sering dituturkan oleh Mbah Kungnya. Nilai-nilai tersebut begitu membekas dan mendarahdaging dalam diri Suhita dan nilai-nilai itu yang kemudian menguatkan batinnya dan menjadi pemandunya dalam menggulati suka duka kehidupan.

Pada beberapa kutipan di dalam novel tersebut yang menunjukan bahwa Suhita adalah gambaran perempuan yang kuat dan tidak mudah menyerah:

 “Aku terduduk menyadari mimpiku. Aku turun dari ranjang, menatapnya pulas di sofa. Aku tahu dia adalah matahari. Sia-sia kakek memberiku nama Suhita kalau aku tak bisa menaklukkannya. Akan kudapatkan malam pertamaku tak lama lagi” (Anis, 2019: 8).

“Ia seperti Srikandi. Cantik, santun, berpengetahuan, dan dicintai mas Birru. Bisakah aku setegar Wara Subadra yang membagi Arjuna kalau kelak Mas Birru memintanya tinggal di rumah ini?  Tidak, itu tidak boleh terjadi. Masih ada abah dan Umik. Mas Birru adalah Mustika Ampalku. Aku harus mempertahankannya, atau aku akan pilih seperti Ekalaya” (Anis, 2019: 92).

        Dari sini kita bisa memetik pelajaran bahwa menjadi perempuan ideal itu tidak hanya nrimo, wanita itu bukan wani ditata, tetapi wani-tapa. Perempuan harus berani bertapa, dalam artian berani bertirakat, berani berjuang sekuat-kuatnya, berani berusaha. Tapa-Tapak-Telapak, disanalah kekuatan wanita berada. Tapa menghasilkan keteguhan diri. Tapa akan mewujud dalam tapak. Tapak adalah telapak. Kekuatan wanita ada di telapaknya, atau kasihsayangnya. Di bawah telapak wanita eksistensi dan esensi surga berada (Anis, 2019:20): “Aku harus digdaya tanpa aji. Aku harus menaklukan Mas Birru dengan kelembutan dan kasih sayangku. Bukan dengan menghadirkan Kang Dharma”.  Menjadi perempuan bukannya tidak memiliki wewenang mengatur diri mereka. Hanya saja mereka mencoba mencari cara agar kehendaknya terpenuhi tanpa merusak tatanan adat. Oleh karenanya pengabdian sepenuh hidup perempuan Jawa ditinjau sebagai strategi diplomasi untuk sedikit demi sedikit mempunyai otoritas dan mendapatkan apa yang menjadi harapan mereka.                                                                                                                                                        

Kearifan Suhita yang lain ditunjukan pada sikap mikul dhuwur, mendem jero. Arti mikul dhuwur mendhem jero adalah memikul tinggi, mengubur dalam-dalam. Hal tersebut semacam nasihat agar seseorang mampu menjunjung tinggi kehormatan orang tua dan menjaga nama baik orang tua. Saat ini sikap mikul dhuwur mendhem jero tidak hanya ditujukan kepada orang tua, tetapi juga kepada pemimpin seperti suami. Suhita benar-benar mampu bersikap mikul dhuwur mendhem jero itu dalam hal menyembunyikan permasalahan rumahtangganya, dia menahan diri untuk tidak mengadu ke orangtuanya atau mertuanya dan dia selalu berpura-pura bahagia atas pernikahannya demi menghormati Gus Birru dan menjaga marwahnya (Anis, 2019:30):

“aku harus tetap berpura-pura harmonis walau perang di dalam batinku berkecamuk setiap detiknya. Aku harus menanggung Lukaku sendiri. Tabah mengobati dukaku sendiri karena ini adalah tirakatku. Karena ini adalah jalanku menuju kemuliaan”

               Sikap mikul dhuwur mendhem jero Suhita juga dirasakan dan disadari oleh Gus Birru (Anis, 2019:137):

“aku tahu dia selalu menjaga perasaan umik. Ia tak pernah membiarkan umik tahu keadaan kami. Ia selalu menampilkan sikap dan wajah bahagia. Ia tak segan mencium punggung tanganku saat aku hendak berangkat kerja. Ia tak segan menggamit lenganklu saat kami tampil di depan publik. Ia bahkan menyerahkan keningnya untuk kukecup kalau itu di depan abah dan umik. Demi menjaga perasaan kedua orang tuaku, ia rela melakukan semua, walau di kamar kami tak pernah bertegur sapa”

“tapi melihatnya tidur pulas dengan begitu tenang, aku tahu, ia cantik dalam ketaatan dan ketabahan. Ia tak pernah mengadukan kepada siapapun. Ia tak pernah terlihat bermata sembab di depan umik, walau diamku menyiksanya”.

Sikap mikul dhuwur, mendhem jero ini mengandung nilai hormat. Dalam struktur mental orang Jawa memang sangat mengutamakan nilai hormat yang diwujudkan dalam relasi antar manusia. Gagasan dasar yang membangun pengertian dan nilai hormat terletak pada prinsip bahwa alam relasi sosial setiap orang memiliki tempatnya sendiri dan oleh karenanya setiap orang harus menghormati tempat itu agar tidak menimbulkan ketidakseimbangan di dunia (Magnis, 1997: 148).

Daftar Bacaan

  1. Anis, Khilma, 2019, Hati Suhita, Yogyakarta:Telaga Aksara
  2. Magnis-Soeseno, F., 1997, Nilai Budaya Jawa, Jakarta: Dryarkara

Leave a Reply