Menghadirkan narasi tandingan mengenai rasisme dalam Hari Pahlawan 10 November
Rika Inggit Asmawati
Kalau membaca buku Ben Anderson, Revoloesi Pemoeda, kita akan tercengang mengetahui fakta bahwa korban dari peristiwa 10 November bukan hanya dari orang Indonesia saja, namun juga orang kulit putih. Dalam buku tersebut di sebutkan beberapa mayat-mayat orang kulit putih bergelimpangan. Mereka bukan tentara. Namun, mereka adalah orang sipil. Dan tahukah kalian siapa yang membunuhnya? Ternyata mereka adalah korban amok laskar-larkar pemuda pejuang pada saat itu.
Namun kita hanya selalu mengingat 10 November adalah tanggal yang paling utama dalam sejarah nasional Indonesia. Kisah kepahlawanan 10 November telah mapan dalam ingatan bangsa. Surabaya, panggung sejarah peristiwanya, ditahbiskan sebagai kota pahlawan.
Kini, belbagai peringatan, festival, serta ragam acara lain dilaksanakan demi mengingat semangat juang para pahlawan dalam peristiwa ini. Dan setiap tanggal 10 November, kita diajak untuk mengingat bahwa peristiwa 10 November adalah sebuah peristiwa dengan pemaknaan tunggal. Yakni, peristiwa 10 November adalah sebuah perang suci melawan penjajahan. Penjajahan yang dilakukan oleh orang kulit putih kepada orang bumi putra, nenek moyang kita.
Padahal, hampir sama dengan apa yang telah digambarkan Ben Anderson, sebenarnya muncul narasi tandingan terhadap nilai nasionalisme dan patriotisme 10 November. Dalam sebuah artikel “The untold story of the Surabaya battle of 1945” yang ditulis oleh Sejarawan UGM, Abdul Wahid, peristiwa ini digambarkan sebagai peristiwa yang heroik sekaligus penuh kekerasan. Kekerasan terutama yang menyasar kepada semua orang kulit putih. Namun, narasi tandingan ini nyaris tidak pernah diajarkan dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah.
…
Seorang sejarawan pernah berkata kepada saya. Yang paling mengerikan dalam penjajahan bukanlah eksploitasi ekonominya, namun adanya segregasi rasial. Segregasi rasial inilah yang membuat penduduk bumi putra dianggap warga negara kelas kedua (bahkan kelas ke sekian). Lebih lanjut, segregasi rasial inilah yang memungkinkan segala bentuk ketidakadilan dan segala macam kesewenang-wenangan yang menimpa penduduk bumi putra seolah-olah adalah hal yang biasa dan sewajarnya.
Makanya ketika terjadi chaos seperti pada Pertempuran Surabaya 10 November, orang bumi putra amok. Dalam situasi yang demikian, penduduk Eropa yang tinggal di Surabaya dijadikan luapan kemarahan. Tidak peduli bahwa orang kulit putih ini berwatak baik atau buruk, terlibat dalam perang atau tidak, sipil atau militer, belanda totok atau indo, perempuan bahkan anak-anak menjadi sasaran kekerasan para pemuda pejuang.
Diskriminasi rasial yang berujung pada kekerasan adalah salah satu hal lain yang bisa kita pelajari dari peristiwa ini; bahwa rasisme adalah bahan bakar dari beberapa tindak kekerasan yang berujug pada pelecehan, kehilangan nyawa bahkan pertumpahan darah.
Kita tentu tidak mau kasus George Floyd terjadi di Indonesia. Seorang kulit hitam Amerika Serikat yang meninggal di kaki polisi kulit putih Amerika Serikat. Peristiwa yang berawal dari tindakan rasisme ini memicu kemarahan yang besar bagi 30 negara bagian di Amerika Serikat. Bahkan, memicu sentimen kemarahan global.
Atau tentu kita tidak mau mengulang konflik Sampit, konflik Poso dan terakhir ujaran yang berbau rasis mengenai orang Papua, yang dapat mengancam persatuan bangsa.
Beberapa peristiwa di atas adalah beberapa contoh bahwa masalah rasisme adalah masalah yang dihadapi oleh seluruh umat manusia di masa sekarang termasuk di Indonesia. oleh karena itu, sudah saatnya kita perlu memaknai ulang peristiwa 10 November. Kita perlu memasukkan narasi tandingan mengenai peritiwa 10 November agar sejarah mengenai Pertempuran Surabaya serasa cover both side. Di satu sisi ini adalah pertempuran yang heroik namun disisi yang lain juga penuh kekerasan berbasis rasisme.
Saya mafhum bahwa sebagai bangsa tentu kita tidak mungkin melupakan jasa para pahlawan pada peristiwa 10 November, namun jika kita ingin tumbuh menjadi sebuah bangsa yang besar, pemaknaan kita harus jauh melebihi itu.
Sudah saatnya kita belajar dari Jerman, yang mau mengakui dan mengajarkan sisi gelap sejarah Jerman kepada generasi mudanya. Tentu saja, hal ini tidak bisa dikatakan tidak membawa konsekuensi yang lain. Tapi, bagi Jerman mengajarkan generasi mudanya sisi kelam sejarah bangsanya membuat generasi muda Jerman dapat merenungkan apa artinya menjadi manusia dan memahami apa itu kemanusiaan.
Saya jadi teringat perkataan Gandhi, “my nationalism is humanism”, jangan-jangan perkataan Gandhi ini ada benarnya juga. Jika di masa lalu, kita membutuhkan semangat nasionalisme untuk menggalang persatuan hingga mewujud menjadi satu bangsa Indonesia, maka mungkin setelah merdeka, kita membutuhkan semangat yang lebih dari sekadar nasionalisme. Yakni, kemanusiaan universal tanpa rasisme.
Mari kita menjadi pahlawan untuk kemanusiaan. Dengan mau menerima sejarah bangsa kita secara jujur dan terbuka.